PERANG DI GAZA MENYEBABKAN RIBUAN ANAK MENJADI YATIM PIATU: SEBUAH KRISIS YANG MENGHANCURKAN MASA DEPAN ANAK-ANAK

PERANG DI GAZA MENYEBABKAN RIBUAN ANAK MENJADI YATIM PIATU: SEBUAH KRISIS YANG MENGHANCURKAN MASA DEPAN ANAK-ANAK

Perang di Gaza telah membawa kehancuran yang sangat besar bagi masyarakat setempat, meninggalkan jejak duka yang mendalam terutama bagi anak-anak. Di tengah konflik yang berkepanjangan, ribuan anak kini tumbuh tanpa kehadiran orang tua, hidup dalam ketidakpastian, dan menghadapi masa depan yang suram. Mereka bukan hanya harus berjuang melawan luka fisik akibat kekerasan, tetapi juga harus mengatasi trauma mendalam yang disebabkan oleh kehilangan orang tua dan kondisi yang sangat tidak stabil.

Setiap hari, anak-anak di Gaza terbangun dengan harapan melihat orang tua mereka kembali. Meskipun mereka telah diberitahu bahwa orang tua mereka telah meninggal, banyak dari mereka yang masih hidup dalam harapan, karena mereka tidak pernah melihat jasad orang tua mereka. Ini adalah salah satu contoh betapa parahnya trauma yang dialami oleh anak-anak akibat konflik ini.

Keluarga Akeila adalah salah satu contoh nyata dari kisah pilu ini. Empat bersaudara – Mohammed, Mahmoud, Ahmed, dan Abdullah – kini dirawat oleh bibi mereka, Samar al-Jaja. Mereka berlindung di tenda di kota Khan Younis, Gaza, setelah rumah mereka hancur akibat serangan udara. Meski telah diberitahu bahwa kedua orang tua mereka telah meninggal, anak-anak ini masih meyakini bahwa suatu hari mereka akan kembali ke rumah dan menemukan orang tua mereka menunggu di sana.

“Baba dan mama pasti menunggu kita di sana,” kata mereka kepada bibi mereka. Namun kenyataannya, kedua orang tua mereka tewas dalam serangan udara yang meratakan bangunan di dekat tempat keluarga tersebut berlindung. Anak-anak ini terus mengalami hari-hari penuh kesedihan dan kesulitan menerima kenyataan. Bahkan, mereka masih menangis setiap kali melewati hari-hari yang seharusnya penuh kebahagiaan seperti Hari Ibu dan Idul Fitri.

Kondisi anak-anak yatim di Gaza semakin sulit di tengah kekacauan akibat perang. Di Khan Younis, sebuah kamp sukarelawan telah didirikan untuk menampung lebih dari 1.000 anak yang kehilangan satu atau kedua orang tua mereka. Ada pula bagian khusus di kamp tersebut untuk anak-anak yang kehilangan seluruh keluarganya, kecuali mungkin seorang saudara kandung. Jumlah anak-anak yang menunggu untuk ditempatkan di kamp ini semakin hari semakin bertambah panjang.

Staf medis di Gaza juga menghadapi tantangan besar dalam menangani anak-anak yang terluka dan tidak memiliki keluarga yang tersisa. Di beberapa rumah sakit, anak-anak yang terluka dan tanpa keluarga diberi label sebagai “anak terluka, tanpa keluarga yang selamat.” Unit perawatan neonatal bahkan menampung bayi-bayi yang tidak ada satu pun orang yang datang mengklaim sebagai keluarganya. Misalnya, di Rumah Sakit Emirati di Rafah, seorang bayi perempuan berusia 3 minggu ditemukan di dekat masjid setelah serangan udara yang menewaskan puluhan orang. Bayi tersebut diberi nama "Malak," yang berarti "malaikat," oleh seorang perawat yang tergerak hatinya karena tidak ada keluarga yang mengklaim bayi tersebut.

Situasi ini juga diperburuk oleh kehancuran sistem pemerintahan dan layanan publik di Gaza. Komunikasi yang tidak stabil dan perintah evakuasi yang datang secara tiba-tiba memisahkan keluarga-keluarga, membuat banyak anak kehilangan jejak keluarga mereka. Beberapa anak kecil yang terlalu trauma menjadi bisu dan tidak bisa menyebutkan nama mereka sendiri, sehingga menyulitkan upaya untuk melacak keluarganya. Organisasi bantuan internasional seperti SOS Children’s Villages mencoba melakukan pencarian, namun hambatan di lapangan sangat besar.

Jonathan Crickx, juru bicara badan anak-anak PBB, mengatakan bahwa perkiraan awal menunjukkan sekitar 19.000 anak kini hidup terpisah dari orang tua mereka, baik bersama kerabat, pengasuh, atau sendirian. Namun angka sebenarnya mungkin jauh lebih tinggi, mengingat skala pengeboman dan pengungsian yang terjadi di wilayah kecil yang padat penduduk ini. Perang ini memisahkan anak-anak dari orang tua mereka dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Di tengah semua penderitaan ini, masyarakat Gaza tetap berusaha untuk menjaga anak-anak yatim piatu dengan mengandalkan solidaritas keluarga besar. Namun dalam banyak kasus, keluarga besar pun kesulitan menyediakan kebutuhan dasar di tengah kelangkaan sumber daya. Situasi ini membuat anak-anak yatim menjadi sangat rentan terhadap eksploitasi, kekerasan, dan penyalahgunaan.

Bagi anak-anak yang berhasil bertahan hidup, masa depan tetap tidak pasti. Bahkan setelah perang berakhir, akses ke kebutuhan dasar seperti tempat tinggal, air bersih, serta perawatan kesehatan mental dan fisik akan sangat terbatas. Selain itu, pendidikan dan peluang kerja mereka juga akan sangat terbatas, yang berarti bahwa generasi ini berisiko tumbuh tanpa harapan untuk masa depan yang lebih baik.

Kisah seperti yang dialami oleh anak-anak keluarga Akeila adalah cermin dari krisis kemanusiaan yang dihadapi Gaza. Mereka adalah saksi hidup dari kehancuran yang tidak hanya meluluhlantakkan infrastruktur, tetapi juga menghancurkan tatanan sosial dan kehidupan keluarga yang menjadi dasar dari masyarakat di Gaza.

 Sumber Berita : The War in Gaza Is Making Thousands of Orphans - The New York Times (nytimes.com)

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow