PERINTAH PENGGUSURAN GEREJA DIBATAL DI INDONESIA

PERINTAH PENGGUSURAN GEREJA DIBATAL DI INDONESIA

Dalam langkah yang jarang terjadi di Indonesia, pengadilan administrasi baru-baru ini membatalkan perintah dari pemerintah daerah untuk gereja agar meninggalkan lokasi ibadahnya, menurut sumber yang ada.

Pemerintah Kabupaten Jombang di Jawa Timur saat ini sedang mengajukan banding terhadap putusan Pengadilan Administrasi Negara Surabaya yang dikeluarkan pada 19 Maret lalu. Putusan ini membatalkan perintah dari pemerintah kabupaten yang menginstruksikan pemilik kompleks ruko Simpang Tiga di Jombang untuk mengosongkan tempat mereka, termasuk Herri Soesanto, pendeta Gereja Good God, dan istrinya Liliek Soenarto.

Ketika gereja pasangan ini yang berada di kompleks ruko dipaksa ditutup pada 18 Agustus 2024, sekitar 50 pejabat dari Kabupaten Jombang menyeret Pendeta Herry dari lokasi ibadah dan menyegel tempat di mana gereja mereka berkumpul, sebagaimana ia ceritakan dalam podcast tahun lalu.

Penyegelan tempat ibadah ini merupakan bagian dari upaya pemerintah daerah untuk merebut kembali beberapa unit ruko yang menurut klaim mereka adalah milik pemerintah. Kompleks ini berada di Jombang, sekitar 80 kilometer dari Surabaya, ibu kota Provinsi Jawa Timur.

Panel yang terdiri dari tiga hakim tersebut membatalkan perintah itu dengan menyatakan bahwa bantahan terhadap gugatan pemilik ruko tidak dapat diterima, sebagaimana diberitakan oleh radio KBRN.

"Kami sangat menghargai keputusan ini," ujar Sonny Saragih, Ketua Lembaga Bantuan Hukum HOPE yang mewakili gereja tersebut. "Hakim telah mempertimbangkan perkara ini dengan bijak, dan ini merupakan langkah maju dalam penegakan pemerintahan yang baik."

Pengacara dari pemerintah daerah, Yaumassyifa, menyatakan pada 27 Maret bahwa mereka akan mengajukan banding, seperti dilaporkan oleh kredoNews.com.

Yaumassyifa mengatakan bahwa properti tersebut secara hukum adalah milik Pemerintah Kabupaten Jombang. Suhartono, juru bicara Aliansi LSM Kabupaten Jombang, menyatakan keheranannya terhadap keputusan ini dan meragukan validitasnya, menurut laporan kredonews.com.

"Kami menganggap surat penggusuran itu sah karena penghuni tidak memenuhi kewajiban yang seharusnya mereka patuhi," kata Suhartono. Ia juga menambahkan bahwa ia meragukan kompetensi hakim. "Ruko ini berada di tanah milik Pemerintah Kabupaten Jombang, dan karena penghuni tidak membayar sewa, maka penggusuran adalah langkah yang tepat," ujarnya.

Suhartono juga menyatakan bahwa ia akan melaporkan kasus ini kepada Komisi Yudisial dan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Hadi S. Purwanto, seorang aktivis yang dekat dengan Pemerintah Kabupaten Jombang, juga berpendapat bahwa penghuni tidak membayar sewa.

"Ini murni karena Pendeta Herri Soesanto sebagai penyewa tidak membayar sewa kepada pemerintah daerah. Ini tidak ada kaitannya dengan gereja," kata Hadi kepada Morning Star News. Ia menjelaskan bahwa selain menggunakan lantai pertama ruko untuk toko dan lantai kedua untuk gereja, Pendeta Herri juga menjalankan bisnis di kompleks tersebut.

Pendeta Herri mengajukan gugatan terhadap pemerintah Jombang pada 27 November, namun kalah. Setelah itu, ia mengajukan gugatan kembali ke Pengadilan Administrasi Negara Surabaya dan memenangkan perkara tersebut.

Pendeta Herri menyatakan bahwa ia bukan penyewa, melainkan pemilik ruko, kata pengacaranya sebelumnya, Sri Sugeng Pujiatmiko.

"Tuan Herri Soesanto membeli ruko itu dari sebuah perusahaan yang memperoleh hak pengelolaan dari pemerintah," kata Pujiatmiko. "Menurutnya, ia memiliki hak hukum atas properti tersebut."

Namun, sumber dari pemerintah daerah mengatakan bahwa kompleks ruko dibangun oleh perusahaan swasta bekerja sama dengan pemerintah daerah dan karena itu perusahaan tersebut berhak mengenakan biaya sewa.

"Para penghuni berargumen bahwa ruko yang mereka tempati dibeli dari PT [perusahaan] dan tidak terkait dengan skema sewa yang ditetapkan oleh pemerintah daerah," kata sumber tersebut kepada Jatimnews.com.

Pendeta Herri mengatakan bahwa ia membeli ruko dari perusahaan swasta dan karena itu tidak perlu membayar sewa.

"Pengembang tidak memberitahukan kami tentang skema tersebut sama sekali," katanya. Ia menambahkan bahwa pemilik toko memiliki sertifikat hak pakai bangunan 2016 yang terus digunakan meskipun telah kadaluarsa pada 2016. Hal ini, menurutnya, merupakan hal yang biasa di Indonesia untuk menunda legalitas selama pembayaran tetap dilakukan.

Gereja berusaha untuk memperpanjang masa berlaku sertifikat hak pakai bangunan tersebut, namun pejabat menolaknya dan menuntut mereka untuk membayar sewa dan sewa yang terutang.

"Pada 2022, pemerintah daerah meminta kami sebagai pembeli untuk membayar sewa dari 2016 hingga 2021, dengan pembayaran sebesar 19.105.000 rupiah [$1,228 USD] per tahun," jelasnya.

Dengan demikian, meskipun gereja telah membeli properti tersebut dan membayar pajak tanah dan bangunan tanpa diberitahu oleh pengembang tentang pengaturan dengan pemerintah untuk pengembangan properti tersebut, pengembang dan pejabat tetap menuntut mereka untuk membayar sewa.

Sumber : Order for church to leave worship site overturned in Indonesia - Christian Daily International

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow