MENYAMBUT SATU ABAD WARISAN DOMINEE KIJNE

MENYAMBUT SATU ABAD WARISAN DOMINEE KIJNE

Tanah Papua adalah sebuah tempat yang kaya akan budaya, alam, dan keragaman. Namun di masa lalu, tanah ini adalah wilayah yang sering dilupakan, terpencil dari perhatian dunia, dan tertinggal dalam hal pendidikan dan pembangunan. Di antara heningnya hutan dan nyanyian ombak pantai Pasifik, datanglah seorang pria asing yang kelak akan mengubah wajah sejarah Papua selamanya. Namanya Dominee Izaak Samuel Kijne, seorang pria sederhana dari Belanda yang hidupnya menjadi simbol cinta sejati bagi rakyat Papua.

Lahir pada 1 Mei 1899 di Vlaardingen, Belanda, Kijne tidak datang dari keluarga bangsawan atau terhormat. Ayahnya hanyalah seorang tukang kayu, dan ia tumbuh besar dalam kehidupan yang biasa-biasa saja. Namun dari keluarga itulah ia mewarisi semangat kerja keras dan kepekaan terhadap penderitaan sesama. Sejak muda, Kijne menunjukkan minat besar dalam bidang pendidikan dan spiritualitas. Ia belajar menjadi guru, mendalami bahasa Melayu, dan bahkan sempat belajar seni di Jerman. Namun semua ilmu itu tidak ia simpan untuk dirinya sendiri. Ia memilih jalan yang tak mudah, jauh dari kenyamanan Eropa, dan melangkah ke tanah yang asing: Papua.

Tahun 1923, Kijne tiba di tanah Papua sebagai utusan Zending Gereja Belanda. Ia tidak hanya membawa salib dan kitab suci, tetapi juga visi besar: membangun manusia Papua melalui pendidikan. Ia mendirikan Sekolah Guru Rakyat di Mansinam dan kemudian memindahkannya ke Bukit Aitumeiri di Miei, Teluk Wondama. Sekolah itu bukan sekadar tempat belajar, tapi rumah harapan bagi anak-anak dari berbagai suku di Papua. Di sanalah, di bawah pohon dan di antara nyanyian burung tropis, ratusan anak-anak Papua belajar membaca, menulis, dan berpikir.

Namun karya terbesar Kijne mungkin bukanlah sekolah yang ia bangun, melainkan pesan yang ia tinggalkan. Pada tanggal 25 Oktober 1925, di atas sebuah batu di Aitumeiri, ia menanam sebuah prasasti yang kelak dikenal sebagai Batu Peradaban. Di sana tertulis kalimat legendaris: "Di atas batu ini saya meletakkan peradaban orang Papua. Sekalipun orang memiliki kepandaian tinggi dari barat, namun tidak dapat memimpin bangsa ini, bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri." Kata-kata itu bukan hanya semangat, tetapi sebuah nubuatan yang sampai hari ini menjadi pengingat akan masa depan yang diperjuangkan dengan cinta dan pengorbanan.

Kijne bukan hanya guru. Ia adalah seniman, budayawan, dan pelayan Tuhan. Ia menciptakan lagu-lagu rohani dalam bahasa lokal seperti "Mazmur ma Ranu" dan "Mazmur ma Dow" yang masih dinyanyikan hingga kini. Ia menyusun Tata Gereja yang masih menjadi dasar bagi Gereja Kristen Injili (GKI) di Tanah Papua. Ia tidak pernah memaksakan budaya barat kepada rakyat Papua, tetapi justru merangkul dan menjadikan budaya lokal sebagai bagian dari iman yang hidup.

Saat Perang Dunia II pecah, Kijne tidak lari. Ia ditawan dan diasingkan ke Balige, Sumatra. Tapi cinta tak bisa dibungkam oleh penjajahan. Setelah perang berakhir, ia kembali ke Papua dan membangun ulang sekolah serta gereja yang telah hancur. Ia tetap mengajar, tetap menyanyi, dan tetap mencintai. Hingga akhir hayatnya pada 11 Maret 1970 di Belanda, hatinya tetap tertambat di tanah yang ia sebut rumah: Papua.

Hari ini, ketika kita menyaksikan pemimpin-pemimpin Papua berdiri dan berbicara dengan yakin, ketika kita melihat gereja-gereja tumbuh dan sekolah-sekolah berdiri, kita tahu bahwa semua itu tidak muncul begitu saja. Ada benih yang ditanam dengan air mata dan cinta. Dan salah satu penanam benih itu adalah Dominee Kijne. Namanya mungkin tidak sepopuler pahlawan nasional, tapi warisannya hidup di dalam hati setiap orang Papua yang bermimpi, belajar, dan mencintai negerinya sendiri. Di atas batu itu, bukan hanya peradaban yang diletakkan, tetapi cinta yang tak pernah padam.

Sumber : DOMINEE ISHAAK SAMUEL KIJNE DI PAPUA: DOMINE IZAAK SAMUEL KIJNE - HIDUP DAN KARYANYA BAGI BANGSA DAN TANAH PAPUA

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow