SUARA YANG TERABAIKAN: MASYARAKAT ADAT BERJUANG DEMI BUMI YANG TERLUKA

Dewan Gereja Dunia (World Council of Churches - WCC) telah merilis laporan yang menggugah hati berjudul Spiritualitas Masyarakat Adat, Hak Atas Tanah, dan Keadilan Iklim. Laporan ini bukan sekadar dokumen akademis, tetapi seruan mendesak dari masyarakat adat yang selama ini terpinggirkan, memperjuangkan tanah mereka yang terus dirampas dan bumi yang semakin terluka akibat krisis iklim.
Laporan ini merupakan hasil dari pertemuan pertama WCC Indigenous Peoples Network Reference Group pada Oktober 2024 dan diedit oleh Lori Ransom, konsultan masyarakat adat WCC. Laporan ini mengangkat suara-suara masyarakat adat yang telah lama menghadapi dampak buruk kolonialisme, eksploitasi lahan, dan perubahan iklim yang menghancurkan warisan leluhur mereka.
Teriakan Keadilan dari Masyarakat Adat
Pendeta Dr. Peter Cruchley, direktur WCC Commission for World Mission and Evangelism, dalam kata pengantarnya menulis:
"Masyarakat adat terus mengalami dampak paling buruk dari perubahan iklim, hilangnya tanah, rasisme, kemiskinan, dan pelanggaran hak asasi manusia. Warisan kolonialisme masih menghantui mereka, membuat mereka menjadi korban dari sistem yang tidak adil."
Salah satu suara yang mengguncang hati datang dari kontributor Anne Pattel-Gray dalam esainya Kebebasan dari Penindasan Kolonial Kristen. Ia mengungkap pergumulannya menghadapi narasi kolonial yang menggambarkan Tuhan sebagai sosok yang lebih memihak satu ras dibandingkan yang lain.
"Teologi kami lahir dari tanah kami, berakar pada hubungan kami dengan Roh Pencipta sejak awal waktu. Kebijaksanaan kuno ini adalah yang menopang kami dan memberi kami kekuatan untuk bertahan," tulisnya dengan penuh harapan.
Ketika Bumi Menangis, Manusia Harus Mendengar
Kontributor lain, Shane Goldie, menangkap hubungan mendalam masyarakat adat dengan tanah dalam puisinya yang menggetarkan jiwa, “Denyut Bumi”. Dalam puisi tersebut, ia menggambarkan bagaimana manusia memperlakukan bumi mencerminkan bagaimana mereka memperlakukan diri sendiri dan sesama.
Ia menegaskan: “Cara kita memperlakukan Bumi mencerminkan bagaimana kita memperlakukan diri sendiri dan satu sama lain.”
Laporan ini, yang didukung oleh hibah dari Kementerian Luar Negeri Jerman, bukan hanya seruan untuk perubahan, tetapi juga pengingat bahwa keadilan lingkungan dan hak atas tanah bukan hanya isu masyarakat adat—tetapi isu kemanusiaan yang harus diperjuangkan bersama.
Saat bumi semakin terluka dan masyarakat adat terus berjuang mempertahankan hak mereka, pertanyaannya kini bukan lagi “Apakah kita peduli?”, tetapi “Kapan kita akan bertindak?”.
Indigenous Spiritualities, Land Rights, and Climate Justice | World Council of Churches
Apa Reaksi Anda?






