REFLEKSI 50 TAHUN SETELAH BAPTISAN SAYA SEBAGAI SEORANG PERCAYA
Lima puluh tahun yang lalu, tepatnya pada 25 Agustus 1974, seorang pendeta di barat daya Ohio membaptis saya sebagai seorang Kristen baru. Seorang teman sekelas saya yang berusia 12 tahun telah memberitakan Injil kepada saya hampir setahun sebelumnya, dan Roh Tuhan bekerja di hati saya selama beberapa bulan. Satu minggu sebelum saya dibaptis, Tuhan menerima saya sebagai anak-Nya ketika saya menyerahkan hidup saya kepada-Nya dengan segenap kemampuan yang saya miliki sebagai seorang remaja berusia 13 tahun. Saat saya merenungkan momen-momen yang mengubah hidup itu, berikut beberapa refleksi yang muncul dalam pikiran saya:
- Saya akan selalu bersyukur untuk gereja pertama yang saya ikuti. Saya tidak dibesarkan dalam keluarga Kristen, tetapi jemaat gereja itu cepat sekali menerima saya. Orang-orang dewasa di sana mengajarkan saya Firman Tuhan. Beberapa keluarga mengundang saya untuk makan siang bersama mereka. Orang-orang sering memberikan saya dukungan dan semangat. Dalam banyak hal, jemaat itu menjadi keluarga saya — bahkan, pada saat tertentu, lebih dekat daripada keluarga kandung saya. Mereka benar-benar hadiah dari Tuhan bagi saya.
- Saya sangat bersyukur atas baptisan saya. Meskipun menurut pemahaman teologi saya, baptisan tidak mutlak diperlukan untuk keselamatan, namun tindakan ketaatan ini adalah momen penting dalam hidup saya. Lebih dari sekali di saat-saat sulit, saya teringat akan kasih karunia Tuhan yang menyelamatkan dan mengubah hidup saya — dan saya selalu teringat pada baptisan saya, yang merupakan pengakuan iman saya yang paling publik di usia muda saya.
- Saya berharap saat itu ada seseorang yang secara sengaja dan strategis membimbing saya sebagai seorang Kristen baru. Gereja memang sangat berpengaruh dalam hidup saya, tetapi mereka tidak membimbing saya secara sistematis. Pendekatan gereja saya waktu itu adalah, "Datanglah ke semua kegiatan yang kami tawarkan, dan Anda akan menjadi murid Yesus" — tapi saya tidak tahu bagaimana cara menghubungkan semua itu sendiri. Akibatnya, saya kesulitan untuk tumbuh sebagai seorang Kristen baru, apalagi karena di rumah saya tidak ada saksi Kristiani.
- Sekarang saya menyadari betapa saya sering menganggap remeh kesempatan untuk berkumpul sebagai jemaat. Bagi saya, pergi ke gereja pada hari Minggu (dan hari-hari lainnya) adalah sesuatu yang biasa, dan saya melakukannya tanpa rasa takut. Bertahun-tahun kemudian, saya tahu ada orang percaya di seluruh dunia yang tidak memiliki kebebasan yang sama. Mereka mempertaruhkan nyawa mereka untuk berkumpul — tapi mereka tetap berkumpul. Persekutuan benar-benar memberikan hidup bagi mereka.
- Saya menyesal bahwa semangat saya untuk memberitakan tentang Yesus di masa awal perjalanan iman saya kadang-kadang memudar. Pada waktu itu, saya memberitakan Injil kepada semua orang, dan saya melakukannya dengan sangat antusias. Mungkin terkadang saya terlihat terlalu bersemangat bagi beberapa orang. Namun, sekarang ini, saya harus benar-benar berusaha untuk menjadikan penginjilan sebagai bagian dari hidup saya — sehingga saya hampir setiap hari berdoa, "Tuhan, berikan saya kasih yang mendalam kepada-Mu yang mendorong saya untuk menceritakan kisah Injil."
- Lima puluh tahun kemudian, saya semakin terpesona oleh kasih karunia Tuhan. Saat itu, saya sudah kagum bahwa Tuhan mengasihi saya begitu besar hingga Dia mengirimkan Anak-Nya untuk mati bagi saya. Sekarang, saya bahkan lebih terpesona karena saya menyadari Tuhan memanggil saya kepada-Nya sambil mengetahui seberapa sering saya akan gagal dalam tahun-tahun yang telah berlalu. Dia mengenal saya, dan Dia tetap mengasihi saya. Saya sering berbicara tentang orang-orang lain yang merupakan "trofi kasih karunia Tuhan" bagi saya, dan saya berdoa agar saya bisa menjadi trofi kasih karunia itu bagi orang lain di tahun-tahun yang akan datang.
Tuhan benar-benar penuh kasih karunia dan baik. Amin.
Sumber : Reflections 50 years after my baptism as a believer (christianpost.com)
Apa Reaksi Anda?